Khulafaur
Rasyidin
الخلفاء الراشدون
632-660
pusat:
Madinah
Kufah
Khalifah Ar-Rasyidin adalah empat orang khalifah (pemimpin)
pertama agama Islam, yang
dipercaya oleh umat Islam sebagai penerus kepemimpinan setelah Nabi Muhammad wafat. Empat orang tersebut adalah para
sahabat dekat Muhammad yang tercatat paling dekat
dan paling dikenal dalam membela ajaran Nabi Muhammad.Keempat khalifah tersebut
dipilih bukan berdasarkan keturunannya, melainkan berdasarkan konsensus bersama
umat Islam.
Sistem pemilihan terhadap
masing-masing khalifah tersebut berbeda-beda, hal
tersebut terjadi karena para sahabat menganggap tidak ada
rujukan yang jelas yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad tentang bagaimana suksesi
kepemimpinan Islam akan berlangsung. Namun penganut paham Syi'ah meyakini bahwa Muhammad dengan jelas menunjuk Ali bin Abi Thalib, khalifah ke-4 bahwa Muhammad
menginginkan keturunannyalah yang akan meneruskan kepemimpinannya atas umat
Islam, mereka merujuk kepada salah satu hadits Ghadir Khum.
Abu Bakr Ash shiddiq
Ketika nabi Muhammad sakit keras, Abu Bakar adalah orang yang ditunjuk olehnya
untuk menggantikannya menjadi Imam dalam Salat berjamaah
di masjid Nabawi. Hal ini menurut sebagian besar ulama merupakan petunjuk dari
Nabi Muhammad agar Abu Bakar diangkat menjadi penerus kepemimpinan Islam,
sedangkan sebagian kecil kaum Muslim saat itu, yang kemudian membentuk aliansi
politik Syiah, lebih merujuk kepada Ali bin Abi Thalib karena ia merupakan
keluarga nabi. Setelah sekian lama
perdebatan akhirnya melalui keputusan bersama umat islam saat itu, Abu Bakar
diangkat sebagai pemimpin pertama umat islam setelah wafatnya nabi Muhammad. Abu
Bakar memimpin selama dua tahun dari tahun 632 sejak wafatnya nabi Muhammad hingga
tahun 634 M.
Selama dua tahun masa
kepemimpinan Abu Bakar, masyarakat Arab di bawah Islam mengalami kemajuan pesat
dalam bidang sosial, budaya dan penegakan hukum. Selama masa kepemimpinannya
pula, Abu bakar berhasil memperluas daerah kekuasaan islam ke Persia, sebagian Jazirah
Arab hingga menaklukkan sebagian daerah kekaisaran Bizantium.
Abu Bakar meninggal saat berusia 61 tahun pada tahun 634 M akibat sakit yang
dialaminya.
Abu Bakar menjadi khalifah hanya
dua tahun. Pada tahun 634 M ia meninggal dunia. Masa sesingkat itu habis untuk
menyelesaikan persoalan dalam negeri terutama tantangan yang disebabkan oleh
suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintah Madinah
sepeninggal Nabi Muhammad. Mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibuat
dengan Nabi Muhammad, dengan sendirinya batal setelah nabi wafat. Karena itu
mereka menentang Abu Bakar. Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka
yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan, Abu Bakar menyelesaikan
persoalan ini dengan apa yang disebut Perang Riddah (perang melawan
kemurtadan). Khalid bin Al-Walid adalah panglima yang banyak berjasa dalam
Perang Riddah ini.
Setelah menyelesaikan urusan
perang dalam negeri, barulah Abu Bakar mengirim kekuatan ke luar Arabia. Khalid
bin Walid dikirim ke Iraq dan dapat menguasai wilayah al-Hirah pada tahun 634
M. Ke Syria dikirim ekspedisi di bawah pimpinan empat panglima yaitu Abu
Ubaidah ibnul Jarrah, Amr ibnul 'Ash, Yazid bin Abi Sufyan dan Syurahbil bin
Hasanah. Sebelumnya pasukan dipimpin oleh Usamah bin Zaid yang masih berusia 18
tahun. Untuk memperkuat tentara ini, Khalid bin Walid diperintahkan
meninggalkan Irak, dan melalui gurun pasir yang jarang dijalani, ia sampai ke
Syria.
Umar bin Khattab
khalifah ke-2 dalam sejarah
Islam. pengangkatan umar bukan berdasarkan konsensus tetapi berdasarkan surat
wasiat yang ditinggalkan oleh Abu Bakar. Hal ini tidak menimbulkan pertentangan
berarti di kalangan umat islam saat itu karena umat Muslim sangat mengenal Umar
sebagai orang yang paling dekat dan paling setia membela ajaran Islam. Hanya
segelintir kaum, yang kelak menjadi golongan Syi'ah, yang tetap berpendapat
bahwa seharusnya Ali yang menjadi khalifah. Umar memerintah selama sepuluh
tahun dari tahun 634 hingga 644.
Ketika Abu Bakar sakit dan
merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat,
kemudian mengangkat Umar bin Khatthab sebagai penggantinya dengan maksud untuk
mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat
Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar tersebut ternyata diterima masyarakat yang
segera secara beramai-ramai membaiat Umar. Umar menyebut dirinya Khalifah
Rasulillah (pengganti dari Rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah Amir
al-Mu'minin (petinggi orang-orang yang beriman).
Di zaman Umar gelombang ekspansi
(perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi; ibu kota Syria, Damaskus, jatuh
tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di
pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan
memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan
'Amr bin 'Ash dan ke Irak di bawah pimpinan Sa'ad bin Abi Waqqash. Iskandariah
(Alexandria), ibu kota Mesir, ditaklukkan tahun 641 M. Dengan demikian, Mesir
jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Al-Qadisiyah, sebuah kota dekat Hirah di Iraq,
jatuh pada tahun 637 M. Dari sana serangan dilanjutkan ke ibu kota Persia,
al-Madain yang jatuh pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M, Moshul dapat
dikuasai. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Umar Radhiallahu ‘anhu,
wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria,
sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir.
Karena perluasan daerah terjadi
dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh
administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi
pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah provinsi: Makkah, Madinah, Syria,
Jazirah Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang
perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran
gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga
yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban,
jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum. Umar juga
mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan membuat tahun hijiah.
Umar memerintah selama sepuluh
tahun (13-23 H/634-644 M). Masa jabatannya berakhir dengan kematian. Dia
dibunuh oleh seorang budak Persia yang bernama Abu Lulu'ah
yang beragama Zoroastrianisme (Majusi).
Untuk menentukan penggantinya, Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu
Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih
salah seorang di antaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman,
Ali, Thalhah, Zubair, Sa'ad bin Abi Waqqash, Abdurrahman bin 'Auf. Setelah Umar
wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Utsman sebagai khalifah,
melalui proses yang agak ketat dengan Ali bin Abi Thalib.
Utsman bin Affan
Umar bin Khattab tidak dapat
memutuskan bagaimana cara terbaik menentukan khalifah penggantinya. Segera
setelah peristiwa penikaman dirinya oleh Fairuz, seorang majusi persia, Umar
mempertimbangkan untuk tidak memilih pengganti sebagaimana dilakukan
rasulullah. Namun Umar juga berpikir untuk meninggalkan wasiat seperti
dilakukan Abu Bakar. Sebagai jalan keluar, Umar menunjuk enam orang Sahabat
sebagai Dewan Formatur yang bertugas memilih Khalifah baru. Keenam Orang itu adalah Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqash, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair
bin Awwam, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Pada masa pemerintahan Utsman,
Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania,
dan Tabaristan berhasil direbut. Ekspansi Islam pertama berhenti sampai di
sini.
Pemerintahan Usman berlangsung
selama 12 tahun, pada paruh terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tidak
puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Utsman memang
sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar. Ini karena fitnah dan hasutan dari
Abdullah bin Saba’ Al-Yamani salah seorang Yahudi yang berpura-pura masuk
islam. Ibnu Saba’ ini gemar berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat
lainnya untuk menyebarkan fitnah kepada kaum muslimin yang baru masa
keislamannya. Akhirnya pada tahun 35 H/1655 M, Utsman dibunuh oleh kaum
pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang berhasil dihasut oleh Abdullah
bin Saba’ itu.
Salah satu faktor yang
menyebabkan banyak rakyat berburuk sangka terhadap kepemimpinan Utsman adalah
kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting di
antaranya adalah Marwan bin Hakam Rahimahullah. Dialah pada dasarnya yang
dianggap oleh orang-orang tersebut yang menjalankan pemerintahan, sedangkan
Utsman hanya menyandang gelar Khalifah. Setelah banyak anggota keluarganya yang
duduk dalam jabatan-jabatan penting, Usman laksana boneka di hadapan kerabatnya
itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia
juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan. Harta kekayaan negara, oleh
kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Utsman sendiri. Itu semua
akibat fitnah yang ditebarkan oleh Abdullah bin Saba’, meskipun Utsman tercatat
paling berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan
mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan,
jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas masjid nabi di Madinah.
Ali bin Abi Thalib
Setelah Utsman wafat, masyarakat
beramai-ramai membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ali memerintah
hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai
pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun dalam pemerintahannya yang dapat
dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali menon-aktifkan para
gubernur yang diangkat oleh Utsman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan
terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang
dihadiahkan Utsmankepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada
negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara
orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.
Tidak lama setelah itu, Ali bin
Abi Thalib menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka,
Ali tidak mau menghukum para pembunuh Utsman, dan mereka menuntut bela terhadap
darah Utsman yang telah ditumpahkan secara zhalim. Ali sebenarnya ingin sekali
menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya
mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan
tersebut ditolak. Akhirnya, pertempuran yang dahsyat pun berkobar. Perang ini
dikenal dengan nama Perang Jamal (Unta), karena Aisyah dalam pertempuran itu
menunggang unta, dan berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah
terbunuh, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Bersamaan dengan itu,
kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari
para gubernur di Damaskus, Mu'awiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat
tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan
pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, serta Ali bergerak dari Kufah menuju
Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan
Mu'awiyah di Shiffin. Pertempuran terjadi di sini yang dikenal dengan nama Perang
Shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tetapi
tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya
golongan ketiga, kaum Khawarij, orang-orang yang keluar dari
barisan Ali. Akibatnya, di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib umat
Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Mu'awiyah, Syi'ah (pengikut
Abdullah bin Saba’ al-yahudu) yang menyusup pada barisan tentara Ali, dan
al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali). Keadaan ini tidak
menguntungkan Ali. Munculnya kelompok Khawarij menyebabkan tentaranya semakin
lemah, sementara posisi Mu'awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 ramadhan 40 H
(660 M), Ali terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij yaitu Abdullah bin
Muljam.